BOTOL
KEPO
Senja merambat dipinggir kacamata,
sedikit menyilaukan pandanganku yang sejak tadi menatap tiap inci raut wajah sahabat-sahabatku.
Meneliti dibalik lebar senyum mereka. Seolah ketika kami bersama, masalah seakan
menjauh. Kami berempat duduk mengatur setiap posisi yang nyaman. Sore itu kami
sedang berada di loteng sebuah rumah tingkat yang belum berpenghuni. Duduk
melingkar menanti sebuah jawaban kejujuran dari mulut yang badannya terkena
arah tutup botol ketika diputar.
Jantungku berdegup saat mendengar satu
rahasia yang dengan jujurnya iya dia ceritakan. Air matanya tak sanggup di
bendung. Luka yang telah lama dibiarkan sore ini kembali menganga. Tangisnya
pecah, juga dengan tangis kedua teman ku. Entah kenapa aku terlalu terkejut
mendengar ceritanya sampai-sampai rasa sedihku hilang berganti dengan amarah.
Hanya rasa sesak yang terasa. Ini satu cerita yang takkan pernah ku ceritakan
kembali. Cukup aku, sahabat-sahabat ku yang tahu. Dan saat itu aku berjanji,
aku akan membahagiakannya semampuku. Membahagiakan mereka.
Hari-hariku terasa bahagia, aku bertemu
dengan ketiga orang yang mempunyai kecocokan denganku. Mereka sama-sama gila
sepertiku. Di bangku kuliah, pertama kali aku masuk kelas,aku bertemu dengan
dua orang yang pada akhirnya bersahabat denganku saat ini. Namanya sitim dan
sidar. Awalnya aku bersebelahan duduk dengan sitim. Karena kami dari kampung
yang sama entah kenapa aku merasa cocok bercerita dengannya. Sitim memiliki
wajah yang manis, kulitnya pun itam manis, memiliki tubuh yang termasuk ukuran
tinggi dan sepertinya anak ini asik. Kesan pertamaku.
Sedang seru-serunya bercerita sana-sini
dikelas, ada satu perempuan yang sedari tadi sibuk memanggil-manggil sitim.
Tentu saja itu sangat menggangguku. Ini orang
sepertinya punya kelainan sepertinya pada telinganya. Jadi mesti
dijelaskan dua kali. Oke itu mungkin kesan pertamaku pada perempuan satu ini.
Singkat kata, akhirnya aku berkenalan dengan perempuan banyak nanya yang duduk
dibelakangku dan sitim. Pertama kali mendengar namanya, aku hanya mampu
tersenyum. Pertama kali nama ini aku dengar,unik. Apalagi ketika dia
menyebutkan nama panggilan yang tak ada sama sekali hubungan dengan nama aslinya.
Mau tertawa tapi takut menyinggung, jadi ditahan saja.
Sidar memiliki tubuh yang mungil, iya
juga memakai kacamata sama sepertiku. Sidar ini tidak seburuk kesan pertamaku.
Ini anak sepertinya punya bakat jadi komikus. Bakat menggambarnya bagus. Kami
pun merasa cocok bertiga. Ternyata kami tidak ditakdirkan hanya bersahabat
bertiga. Ada satu perempuan yang ingin bergabung dengan kami. Berarti kami
harus menyatukan empat kepala dari tiga kepala yang sudah nyaman.
Sebut saja dia bunga, karena memang
namanya berhubungan dengan bunga. Bunga juga bertubuh mungil walau tak semungil
sidar. Pertamakali melihatnya aku sudah tahu kalau dia memang tipe anak yang
ceria. Ketawa semaunya, dimana saja, sesukanya. Dan diantara kami bertiga bunga
ini yang memiliki umur diatas kami.
Tapi tunggu dulu loh, seperti kata
motivator umur tidak menentukan tingkat kedewasaan manusia. Bukan berarti dia
tidak dewasa, hanya saja dia kurang pandai menempatkan sikapnya pada kondisi
yang tepat. Diantara kami berempat yang paling sering cekcok adalah sidar dan
bunga. Bangganya aku sama mereka, walaupun suka betekak sekeras mungkin,tapi
ujung-ujungnya baikan lagi.
Tentu saja disetiap hubungan tidak
semulus pantat bayi. Kami juga pernah cekcok. Dulu sempat ada masalah, apalagi
ini masalah yang sebenarnya kecil. Hanya kesalahpahaman semata. Ku akui aku
memang lebih dekat dan nyaman jika berada bersama sidar. Tak mungkin disuatu
hubungan kau bisa dekat dengan semuanya. Pasti ada salah satu yang membuatmu
lebih nyaman dari setiap kenyamanan yang ada.
Sangkin dekatnya kami, ini malah
menimbulkan masalah. Sitim merasa kami berdua seperti dengan dunia kami. Tak
memperdulikan mereka, Sitim dan bunga.
Padahal kalau dipikir-pikir itu tidak seperti yang mereka bayangkan. Aku
merasa sitim lah yang menjauhkan diri dengan sengaja. Seolah-olah menarik diri
dari aku, kami bertiga. Sidar pun mulai terusik dengan perubahan sikap sitim.
Sitim, sidar, dam bunga memang tinggal bertiga. Akulah yang tinggal bersama
saudara ku disini. Jadi wajar saja dengan masalah ini, sidar merasa dijauhi.
Cerita demi cerita mulai dia ceritakan padaku.
Hari itu, aku kembali melihat butir-butir
air murni mengalir dari kedua bola mata cokelat sidar, dia menangis. Sepertinya
masalah ini semakin mengusik hari-harinya. Aku memang tak melihat langsung, dan
tak merasakan langsung apa yang dirasakan sidar. Tapi tampaknya ini bukan
masalah sepele lagi. Dan ini harus diselesaikan. Dia tak sanggup
menyelesaikannya sendiri.
Akhirnya jalan satu-satunya permainan
botol kepo. Botol yang terikat satu perjanjian. Kau harus jujur dan
sungguh-sungguh melakukan setiap tantangan. Botol air mineral yang hanya
diputar, dan jika arah tutup botol mengenai kearah tubuhmu, kau harus memilih
antara kejujuran dan tantangan. Saat bermain pun, satu- satu pertanyaan
bermunculan, menjawab rasa penasaran yang sedari dulu dipendam. Menyatu
menyelesaikan setiap keluhan hati.
Mengeluarkan seluruh pikiran,
ketidaksukaan, kebencian. Botol ini seolah sangat membantu menjawab setiap
pertanyaan yang terlontarkan. Pertanyaan ku terjawab sudah, dan pada intinya
hanya sebuah kesalahpahaman. Seharusnya semua bersikap dewasa termasuk aku.
Beban hatiku sudah hilang. Dan rasanya sangat lega sekali. Senyum ku tak lepas
dari wajah ini dan memeluk ketiga sahabatku ini.
Aku memegang botol mineral ukuran sedang
ini. Menyentuh setiap sisinya, ternyata dengan botol ini sangat berguna. Masalah
kami teratasi dengan bantuan botol ini. Andai saja semua masalah pemerintahan
tentang koruptor diselesaikan dengan permainan botol kepo ini, pasti tak akan ada yang menghabisi uang
rakyat. Pertanyaannya maukah mereka jujur ketika bermain botol kepo ini?
Entahlah..