Senin, 30 Desember 2013

Cerpen



BOTOL KEPO
      Senja merambat dipinggir kacamata, sedikit menyilaukan pandanganku yang sejak tadi menatap tiap inci raut wajah sahabat-sahabatku. Meneliti dibalik lebar senyum mereka. Seolah ketika kami bersama, masalah seakan menjauh. Kami berempat duduk mengatur setiap posisi yang nyaman. Sore itu kami sedang berada di loteng sebuah rumah tingkat yang belum berpenghuni. Duduk melingkar menanti sebuah jawaban kejujuran dari mulut yang badannya terkena arah tutup botol ketika diputar.
      Jantungku berdegup saat mendengar satu rahasia yang dengan jujurnya iya dia ceritakan. Air matanya tak sanggup di bendung. Luka yang telah lama dibiarkan sore ini kembali menganga. Tangisnya pecah, juga dengan tangis kedua teman ku. Entah kenapa aku terlalu terkejut mendengar ceritanya sampai-sampai rasa sedihku hilang berganti dengan amarah. Hanya rasa sesak yang terasa. Ini satu cerita yang takkan pernah ku ceritakan kembali. Cukup aku, sahabat-sahabat ku yang tahu. Dan saat itu aku berjanji, aku akan membahagiakannya semampuku. Membahagiakan mereka.

      Hari-hariku terasa bahagia, aku bertemu dengan ketiga orang yang mempunyai kecocokan denganku. Mereka sama-sama gila sepertiku. Di bangku kuliah, pertama kali aku masuk kelas,aku bertemu dengan dua orang yang pada akhirnya bersahabat denganku saat ini. Namanya sitim dan sidar. Awalnya aku bersebelahan duduk dengan sitim. Karena kami dari kampung yang sama entah kenapa aku merasa cocok bercerita dengannya. Sitim memiliki wajah yang manis, kulitnya pun itam manis, memiliki tubuh yang termasuk ukuran tinggi dan sepertinya anak ini asik. Kesan pertamaku.
      Sedang seru-serunya bercerita sana-sini dikelas, ada satu perempuan yang sedari tadi sibuk memanggil-manggil sitim. Tentu saja itu sangat menggangguku. Ini orang  sepertinya punya kelainan sepertinya pada telinganya. Jadi mesti dijelaskan dua kali. Oke itu mungkin kesan pertamaku pada perempuan satu ini. Singkat kata, akhirnya aku berkenalan dengan perempuan banyak nanya yang duduk dibelakangku dan sitim. Pertama kali mendengar namanya, aku hanya mampu tersenyum. Pertama kali nama ini aku dengar,unik. Apalagi ketika dia menyebutkan nama panggilan yang tak ada sama sekali hubungan dengan nama aslinya. Mau tertawa tapi takut menyinggung, jadi ditahan saja.
      Sidar memiliki tubuh yang mungil, iya juga memakai kacamata sama sepertiku. Sidar ini tidak seburuk kesan pertamaku. Ini anak sepertinya punya bakat jadi komikus. Bakat menggambarnya bagus. Kami pun merasa cocok bertiga. Ternyata kami tidak ditakdirkan hanya bersahabat bertiga. Ada satu perempuan yang ingin bergabung dengan kami. Berarti kami harus menyatukan empat kepala dari tiga kepala yang sudah nyaman.
      Sebut saja dia bunga, karena memang namanya berhubungan dengan bunga. Bunga juga bertubuh mungil walau tak semungil sidar. Pertamakali melihatnya aku sudah tahu kalau dia memang tipe anak yang ceria. Ketawa semaunya, dimana saja, sesukanya. Dan diantara kami bertiga bunga ini yang memiliki umur diatas kami.
      Tapi tunggu dulu loh, seperti kata motivator umur tidak menentukan tingkat kedewasaan manusia. Bukan berarti dia tidak dewasa, hanya saja dia kurang pandai menempatkan sikapnya pada kondisi yang tepat. Diantara kami berempat yang paling sering cekcok adalah sidar dan bunga. Bangganya aku sama mereka, walaupun suka betekak sekeras mungkin,tapi ujung-ujungnya baikan lagi.
      Tentu saja disetiap hubungan tidak semulus pantat bayi. Kami juga pernah cekcok. Dulu sempat ada masalah, apalagi ini masalah yang sebenarnya kecil. Hanya kesalahpahaman semata. Ku akui aku memang lebih dekat dan nyaman jika berada bersama sidar. Tak mungkin disuatu hubungan kau bisa dekat dengan semuanya. Pasti ada salah satu yang membuatmu lebih nyaman dari setiap kenyamanan yang ada.
      Sangkin dekatnya kami, ini malah menimbulkan masalah. Sitim merasa kami berdua seperti dengan dunia kami. Tak memperdulikan mereka, Sitim dan bunga.  Padahal kalau dipikir-pikir itu tidak seperti yang mereka bayangkan. Aku merasa sitim lah yang menjauhkan diri dengan sengaja. Seolah-olah menarik diri dari aku, kami bertiga. Sidar pun mulai terusik dengan perubahan sikap sitim. Sitim, sidar, dam bunga memang tinggal bertiga. Akulah yang tinggal bersama saudara ku disini. Jadi wajar saja dengan masalah ini, sidar merasa dijauhi. Cerita demi cerita mulai dia ceritakan padaku.
      Hari itu, aku kembali melihat butir-butir air murni mengalir dari kedua bola mata cokelat sidar, dia menangis. Sepertinya masalah ini semakin mengusik hari-harinya. Aku memang tak melihat langsung, dan tak merasakan langsung apa yang dirasakan sidar. Tapi tampaknya ini bukan masalah sepele lagi. Dan ini harus diselesaikan. Dia tak sanggup menyelesaikannya sendiri.
      Akhirnya jalan satu-satunya permainan botol kepo. Botol yang terikat satu perjanjian. Kau harus jujur dan sungguh-sungguh melakukan setiap tantangan. Botol air mineral yang hanya diputar, dan jika arah tutup botol mengenai kearah tubuhmu, kau harus memilih antara kejujuran dan tantangan. Saat bermain pun, satu- satu pertanyaan bermunculan, menjawab rasa penasaran yang sedari dulu dipendam. Menyatu menyelesaikan setiap keluhan hati.
      Mengeluarkan seluruh pikiran, ketidaksukaan, kebencian. Botol ini seolah sangat membantu menjawab setiap pertanyaan yang terlontarkan. Pertanyaan ku terjawab sudah, dan pada intinya hanya sebuah kesalahpahaman. Seharusnya semua bersikap dewasa termasuk aku. Beban hatiku sudah hilang. Dan rasanya sangat lega sekali. Senyum ku tak lepas dari wajah ini dan memeluk ketiga sahabatku ini.
      Aku memegang botol mineral ukuran sedang ini. Menyentuh setiap sisinya, ternyata dengan botol ini sangat berguna.  Masalah kami teratasi dengan bantuan botol ini. Andai saja semua masalah pemerintahan tentang koruptor diselesaikan dengan permainan botol kepo ini, pasti tak akan ada yang menghabisi uang rakyat. Pertanyaannya maukah mereka jujur ketika bermain botol kepo ini? Entahlah..